![]() |
Source : pixabay.com |
Dampak terlahir sebagai orang Jawa adalah tidak bisa terlepas perihal ghaib dan adat kejawen yang masih kental dalam masyarakat. Meskipun di zaman milenial seperti sekarang, tidak sedikit kok masyarakat yang masih percaya tentang mistiknya adat jawa.
Misalnya saja tentang larangan saat hamil. Dari larangan tidak boleh bersandar di tengah pintu, memakai handuk yang dililitkan ke leher serta ghaibnya fenomena gerhana bulan terhadap wanita yang sedang hamil.
Dan ironisnya, entah itu keluarga istri maupun keluargaku sendiri juga masih mempercayainya. Sedangkan aku? Aku adalah generasi milenial yang lebih mengutamakan logika dari pada adat Jawa.
Aku mirip bapakku, suka iseng dengan hal-hal semacam itu. Dulu bapakku selalu mencicipi kopi yang seharusnya disuguhkan kepada penunggu dapur, lupa aku namanya apa, sebut saja si “anu”.
Jadi ceritanya, Buyutku (neneknya bapak) selalu menyajikan kopi yang diletakkan dekat “tumang” (semacam kompor dari tanah liat yang bahan bakarnya dari kayu) untuk si anu. Setelah Buyut pergi meninggalkan kopi tersebut, bapakku iseng menyeruput kopi tersebut diam-diam.
Setelah beberapa lama, Buyut tersenyum puas ketika melihat kopi yang disajikannya habis diminum si “anu” itu. Bapakku terpingkal melihat ekspresi buyut. Hingga selang beberapa lama bapakku menyeruput setiap kopi yang disajikan, dan pada akhirnya bapakku ketahuan.
Terjadi perdebatan antara Buyut dengan bapak, dan bapaklah yang jadi pemenang perdebatan tersebut dengan logikanya. Hingga akhirnya kebiasaan menaruh kopi itupun hilang di keluarga Bapak.
Di eraku, aku sering diperingati Ibu serta keluarga besarnya istri dengan berbagai larangan yang tidak boleh dilakukan saat istri sedang hamil. Seperti kebiasaanku melilitkan handuk di leher, kebiasaan berdiri di tengah pintu dalam waktu yang lama, ataupun menggunting sesuatu yang terikat tanpa melepaskan ikatannya terlebih dahulu.
Apakah aku menurutinya?
Tentu. Aku kan anak yang baik yang menurut apa yang dikatakan orang tua. Namun itu berlaku saat di depannya mereka sebagai caraku menghargai apa yang diyakini mereka.
Seperti menggunting sesuatu yang terikat tanpa melepaskan ikatannya, itu yang tak pernah aku lakukan terutama saat aku bekerja.
Masalahnya pekerjaanku waktu itu lebih banyak melepaskan gelondongan kain yang terbungkus oleh plastik yang terikat. Kemudian mengikatnya kembali kalau sudah selesai memakai kain tersebut.
Jadi kalau harus melepaskan ikatannya itu terlalu lama. Jauh lebih mudah dengan menggunting plastiknya. Karena aku tidak menyakininya, dampak dari larangan tersebut tidak ber-efek dengan kehidupanku. Toh akhirnya istri melahirkan normal-normal saja atas izinNya.
Manusia itu ajaib, begitulah menurutku.
Apa yang diucapkan dan di-iyakan dalam hati, biasanya akan terjadi. Mungkin karena keyakinan yang sudah mendarah daging itulah yang menjadikan adat Jawa ini makin mistis bagi yang menyakininya.
Bagi yang tidak menyakininya, tentu akan tidak berpengaruh apa-apa, Sebab setiap kejadian adalah rencana Allah kepada setiap makhlukNya.
Adakah Hari Baik Dan Buruk Dalam Kehidupan Kita?
![]() |
Source : pixabay.com |
Makin ke sini, adat Jawa itu makin mistis perihal “hari”, “tanggal” dan “bulan”. Karena sangat banyak aturan perihal hari baik atau buruk dalam aspek kehidupan masyakat. Ada pula hari-hari khusus yang dinilai buruk atau baik dalam melakukan atau memulai suatu aktifitas.
Contoh yang paling sering terjadi adalah perihal menentukan hari baik pernikahan (Akad).
Dulu aku ingin menepatkan hari pernikahanku di tanggal 12 Desember tahun 2012, biar viral gitu. Namun karena aku adalah anak yang harus nurut sama orang tua, akhirnya aku ikut bapak dengan pergi ke seorang ustad biar dipilihkan hari baik untuk akad.
Selepas menemukan hari dan tanggal, aku dan keluarga bergegas ke rumahnya istri dengan memberi tanggal dan hari akad. Namun di sana pun ada adik dari kakak ipar istri yang juga seorang ustad yang mempunyai tanggal dan hari yang berbeda.
Dari pada aku gagal kawin, aku membujuk bapak dan keluargaku biar ikut dengan tanggal yang mereka tentukan. Akhirnya hari akadpun tiba dan aku tanpa kesalahan melafalkan ijab qobul dengan lincah. Resmilah kita menjadi pasangan suami istri di hari itu.
Namun isu-isu yang bergentanyangan, akhirnya sampai di malam pertamaku. Bahwa pilihan tanggal dan hari akad yang dipilih, ternyata hari “mati”. Begitulah kata salah satu paman istri menurut hitungan jawa.
Setelah 2 minggu pernikahan, mertuaku meninggal dunia. Banyak di antara tetangga yang menyalahkan hari akad tersebut.
Benarkah hal tersebut karena pemilihan hari yang tidak tepat? Terkadang aku pengen menampar mulut mereka yang mengatakan hal demikian.
Aku yakin Allah sudah mentakdirkan kehidupan seseorang dengan sangat rapi, dari hari kelahirannya, hari pernikahannya dan juga hari kematiannya. Entah itu hari baik atau buruk, aku rasa tidak ada hari baik apapun yang bisa menunda hari kematian seseorang.
Justru aku merasa beruntung memilki mertua seperti beliau. Sejak awal tunangan, ayah istriku ini memang kondisi kesehatannya sedang memburuk. Bahkan disaat hari pernikahan kita juga kondisinya masih kurang sehat.
Aku rasa, keinginan dan doanya lah yang membuat beliau bertahan dari penyakitnya untuk tetap kuat hingga menjadi wali dalam pernikahan anak terakhirnya sampai acara selesai. Bukan karena tanggal buruk, melainkan memang sudah takdir beliau.
Selain hari baik pernikahan, pemilihan hari baik juga dilakukan disaat mau pindah rumah. Dari pemilihan hari saat membangun pondasi rumah, serta hari disaat hendak menempati rumah.
Mitologi yang paling seram adalah pemilihan hari baik pindah rumah, selain menentukan hari menurut weton, juga posisi pintu juga harus diselaraskan dengan arah “Naga Tahun”. Intinya jangan sampai posisi pintu depan berhadapan dengan arah kepala Naga.
Naga tahun itu apa?
Aku rasa itu naga terkuat melebihi kekuatan naga api Igneel maupun naga hitam Acnologia, hehehe.
Yang aku tau, perpindahan arah naga tahun itu bergeser tiga bulan sekali. Misal bulan ini berada di timur, tiga bulan lagi berada di selatan, begitu seterusnya.
Bagaimana kalau menurut islam?
Entahlah, aku kurang ilmu akan hal tersebut. Yang aku yakini, dalam islam tidak mengenal hari baik maupun bulan baik dalam urusan pernikahan. Yang ada adalah melakukan pernikahan secepatnya tanpa menunda lama-lama adalah cara terbaik untuk menghindari dosa lebih lama.
Hal ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?” Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.
Riwayat Aisyah radhialluhu ‘anha mengatakan demikian karena masyarakat jahiliyah di masa silam pernah menyakini bahwa di bulan syawal merupakan bulan larangan untuk melangsungkan pernikahan. Beliau bertujuan sebagai dakwah dan membuktikan bahwa larangan menikah di bulan syawal itu tidaklah benar.
Jadi hitungan weton dan sebagainya, yang mana digunakan untuk mendapat hari pernikahan itu tidak ada syariatnya dalam islam.
Terus bagaimana dong dengan keluarga, yang mana perhitungan tersebut sudah menjadi adat dalam masyarakat?
Di situlah susahnya menjadi orang jawa. Disatu sisi, kita juga harus menghormati para orang tua, disisi lain, hati kita menolak mitos yang sudah ada dalam masyarakat.
Jalan satu-satunya adalah seperti aku ini, tetap menghargai pilihan orang tua, namun tetap menyakini bahwa semua hari itu baik atas ridhoNya.
Kalau kalian? Pernah mengalami hal serupa? Bagaimana kalian menghadapi adat seperti itu, terlebih hati kalian menolak keras untuk menyakininya?
Boleh banget deh dishare di komentar biar kita sama-sama belajar .
#Menuju Bahagia dan Melampauinya